SCENE BAWAHTANAH INDONESIA 1980an-2000an

SCENE BAWAHTANAH INDONESIA 1980an-2000an

By Kimung

Teman-teman, kita sudah sampai di era baru industri musik…

Wenk Rawk, 2007

Inilah propaganda informasi paling diminati mengenai wajah indsutri musik baru Indonesia. Essay yang ditulis scenester pionir Wenk Rawk ini menggambarkan dengan gamblang bagaimana kini label rekaman meluaskan ekspansi bisnis mereka dalam industri musik tanah air, yaitu dengan membuka divisi manajemen artis di label rekaman. Ini adalah sebuah jalan pintas yang dilakukan perusahaan rekaman untuk mengeksploitasi artis-artisnya, ketika bisnis utama mereka semakin terpuruk akibat maraknya pembajakan di tanah air. Jelas fenomena manajemen artis di sebuah label bukan suatu yang sehat karena label label rekaman jelas tidak kompeten untuk urusan manajemen artis, berpotensi merusak tatanan industri musik yang selama ini otonom dari tiga belah pihak terkait—artis, manajemen, label, dan rentannya konflik kepentingan tingkat tinggi, saat manajernya bingung harus membela kepentingan siapa bila terjadi bentrok antara artis dan label.

Memang sistem manajemen artis dalam sebuah label rekaman bukanlah fenomena umum dan hanya beberapa gelintir perusahaan rekaman yang telah menerapkan hal ini. Namun itu sudah menjadi tak penting, karena yang terpenting adalah mengapa kondisi seperti ini bisa terjadi.

Rawk menganalisis, penyebab kondisi tak sehat ini terjadi akibat semakin parahnya praktek pembajakan di Indonesia dan juga peran pemerintah yang berkesan main-main saja dalam mengatasi hal ini. Musisi-musisi independen jelas gerah dengan kondisi ini. Dengan kreatif, mereka lalu melawan sistem pembajakan dengan cara yang sama : pembajakan pula, namun kini yang membajak adalah musisi kreator karya mereka sendiri. Dan kemudian meledaklah fenomena yang mengguncang industri musik tanah air itu—penggratisan album oleh para musisi atau band.

Koil, menjadi band pionir fenomena ini. Mereka bekerja sama dengan sebuah perusahaan minuman dalam merilis album mereka dan juga menjalin kerjasama dengan majalah Rolling Stone untuk mendistribusikan album terbaru mereka, Blacklight Shines On secara gratis. Tak hanya itu, mereka juga memberi akses download album gratis via website/mailing list musik. Ide Koil ini memang tergolong baru walau sebenarnya tidak original juga. Prince bulan Juni lalu lebih dulu mengedarkan 3 juta keping album terbarunya secara gratis via Tabloid Sun di Inggris.

Dan demikianlah, maka Otong dkk, tanggal 21 September 2007, tampil di sebuah studio di bilangan Cililitan, Jakarta Timur, untuk memperkenalkan album Blacklight Shine On, sekaligus juga pembuatan video klip “Semoga Kau Sembuh Part II” yang disutradarai Rizal Mantovani dan juga merupakan soundtrack film Kuntilanak 2. ini adalah sebuah tonggak baru yang ditancapkan Koil setelah rilisnya album Megaloblast enam tahun lalu, album yang berhasil menembus angka fantastis. Album Megaloblast re-mix tahun 2003 berhasil menembus angka penjualan hingga 30.000 keping.

Blacklight Shine On dalam hal ini tak berpretensi memecahkan rekor Megaloblast. Album ini sangat penting karena menggunakan sistem baru dalam pendistribusiannya : penggratisan album. Otong memaparkan bahwa Blacklight Shine On, “…menyasar penikmat musik Indonesia dari lapisan menengah ke bawah. Kami menyajikan musik bagus dengan kualitas suara yang bagus pula, tapi dapat dibeli dengan harga murah.” papar Otong, menjelang syuting video klip yang disutradarai Rizal Mantovani.

Blacklight hine On, secara musikalitas memang snagat spektakuler. Namun yang tak kalah hebat adalah pengemasan lirik-lirik khas yang ditulis Otong. Beberapa lagunya, “Kenyataan dalam Dunia Fantasi”, “Semoga Kau Sembuh”, “Ajaran Moral Sesaat”, “Aku Lupa Aku Luka”, dan “Hanya Tinggal Kita Berdua” banyak menyoroti ketimpangan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Otong yang menulis semua syair memberikan komitmen, “Kita butuh sesuatu untuk bangsa ini. Dari sinisme yang saya kemukakan di beberapa lagu awal, akhirnya toh saya tetap akan membela negara ini, apapun akibatnya.” Selain menggratiskan CD mereka, Koil juga membagikan album paling ditunggu pecinta musik bawahtanah ini dalam format MP3. untuk mempromosikan album mereka, Koil juga menggelar serangkaian tur mulai November di Jakarta, Bandung, Yogyakata, Surabaya, dan Denpasar.

***

Namun, itu adalah kini. Jauh sebelumya, Koil yang didirikan tahun 1993 oleh Otong, Doni, Imo, dan Leon dirintis dari awal di titik nol. Band yang sejak awal berdiri memutuskan memainkan lagu-lagu ciptaan sendiri itu, merekam 8 lagu mereka dan merilisnya dalam single berjudul Demo From Nowhere dalam format kaset yang dijual terbatas, hanya di Studio Reverse.

Musik Koil adalah musik rock yang dipenuhi sampling suara yang tidak hanya berasal dari instrumen musik tapi juga dari suara-suara yang ada di sekitar kita seperti suara air, besi dipukul, suara-suara binatang, suara orang pidato, dan lain-lain. Dari segi lirik, penulisan lirik-lirik yang mengekspresian rasa marah, kegelapan dan cinta, dituangkan dalam bait-bait lirik berbahasa Indonesia yang tertata apik. Ini adalah suatu nilai plus karena lirik bahasa Indonesia masih jarang dipakai untuk jenis musik rock seperti Koil. Hal inilah yang menarik perhatian Budi Soesatio dari label Project Q untuk merilis album-album Koil. Maka September 1996, KOIL merilis full album pertama yang berjudul Koil. Lagu-lagunya sebagian diambil dari singel Demo From Nowhere. Album ini mendapat tanggapan positif dari khalayak musik Indonesia terutama pencinta musik rock, karena musik dan liriknya dianggap tonggak baru dalam kancah musik rock Indonesia.

Tahu 1998 Koil keluar dari Project Q dan merilis singel Kesepian ini Abadi di bawah label Apocalypse Record, label yang dibuat oleh Otong (Koil) dan Adam (Kubik). Kaset ini diedarkan melalui jaringan distro-distro bawahtanah yang saat itu sudah mulai banyak bermunculan di kota-kota besar. Seiring dengan itu, Koil mencoba konsep baru dalam pertunjukannya, yaitu dengan memasukan unsur-unsur lain dalam pertunjukannya yaitu fashion dan tarian. Kostum dari kulit, berwarna hitam, penuh asesoris logam, boots tinggi, ditambah dengan aksi para penari wanita berpakaian seksi membuat pertunjukan musik Koil menarik dan berbeda dengan yang lain. Koil sempat bereksperimen meremix lagu-lagu Puppen, Burgerkill, dan Jasad, serta ikut dalam berbagai kompilasi sebelum akhirnya merilis Megaloblast, bulan Februari 2001 di bawah label Apocalypse Record. Saat pertama dirilis, distribusi kaset ini dilakukan hanya lewat jaringan distro-distro bawahtanah di Jakarta dan Bandung, pemesanan melalui pos, dan beberapa toko kaset.

Cara ini ditempuh oleh Koil untuk menekan biaya distribusi. Sementara untuk promo, Koil membuat poster-poster dan baligo yang di pasang di jalan-jalan utama—untuk promosi ini, Koil dibantu banyak pihak seperti distro-distro, radio, majalah, restoran—serta memaksimalkan penggunaan internet. Koil juga membuat video klip lagu “Mendekati Surga” dan mengirimkannya ke MTV. Tak disangka ternyata sambutan dari khalayak sangatlah antusias. MTV—kala itu belum menayangkan klip band indie—menyebutkan respon terhadap klip Koil bahkan lebih besar daripada klip Linkin Park. Hal itu membuat pihak MTV mengundang Koil untuk tampil dalam acara MTV Musik Award 2003.

Megaloblast kemudian dirilis ulang oleh Alfa Records bulan Desember 2003 dengan penambahan dua lagu remix dan pendistribusian luas mencakup seluruh Indonesia. Terjadi juga perubahan artwork kover menjadi berwarna hitam gelap. Karenanya, album ini sering disebut juga sebagai album Megaloblack. Untuk promo, Koil menambah dua klipnya, yaitu untuk lagu “Kita Dapat Diselamatkan” dan “Dosa Ini Tak Akan Berhenti.” Prestasi Koil ini mendapat perhatian dari majalah Times Asia, sehingga dalam salah satu tulisannya menyebut Koil sebagai salah satu band rock masa depan Indonesia.

Juni 2005, Koil merilis 2 buah singel terbarunya yang berjudul “Hiburan Ringan Part 1” dan “Hiburan Ringan Part II.” Singel ini masuk dalam soundtrack film horor berjudul 12:00 AM. Masih di bulan yang sama, Koil membuat klip dari lagu “Hiburan Ringan Part II” dan akhirnya September 2007 Koil merilis semua lagu-lagunya dalam album fenomenal Blacklight Shine On.

Scene Bandung

Studio Reverse, tempat di mana Koil pertama kali menitipkan demo mereka untuk dijual, dapat dikatakan sebagai salah satu tonggak kebangkitan scene musik bawahtanah Bandung. Studio ini berdiri tahun 1994, oleh Richard Mutter—saat itu drummer PAS—Dxxxt, dan Helvi Syarifuddin. Ketika semakin berkembang, Reverse kemudian melebarkan sayap bisnisnya dengan membuka distro yang menjual CD, kaset, poster, t-shirt, serta berbagai aksesoris impor lainnya. Richard membangun label independen 40.1.24, rilisan pertamanya adalah kompilasi CD “Masaindahbangetsekalipisan” tahun 1997, berisi band-band indie masa itu, antara lain Burgerkill, Puppen, Papi, Rotten To The Core, Full of Hate dan Waiting Room, sebagai satu- satunya band asal Jakarta. Dapat dikatakan, masa-masa inilah tonggal awal populerisasi wacana Do It Youself (DIY), yaitu sebuah bentuk pemikiran yang mementingkan inisiatif individu dalam membangun gerakan budaya tandingan.

Melalui wacana DIY pula Richard dan bandnya PAS pada tahun 1993, PAS menorehkan sejarah sebagai band Indonesia yang pertama kali merilis album secara independen. Mini album mereka Four Through The S.A.P sebanyak 5000 kaset ludes terjual dalam waktu singkat. Kesuksesan PAS tak lepas dari peran ‘mastermind’ yang melahirkan ide merilis album PAS secara independen tersebut. Ia adalah (alm) Samuel Marudut, Music Director Radio GMR, stasiun radio di Bandung yang khusus memutar musik rock/metal. Radio ini juga memiliki program khusus memutarkan demo-demo rekaman band-band rock amatir asal Bandung, Jakarta dan sekitarnya. Band yang juga kemudian memanifestasikan wacana DIY sejak awal kemunciulan merka dan konsisten adalah Puppen, Pure Saturday, dan Kubik.

Beberapa tahun sebelum berdirinya Puppen, terdapat komunitas lain yang berkumpul di lantai 3 pusat pertokoan Bandung Indah Plaza. Komunitas ini menamakan diri Bandung Death Metal Area, atau Badebah, kebanyakan adalah para pecinta musik thrash, death metal, dam grindcore. Pionir komunitas ini adalah Uwo, vokalis band Funeral, band yang berdiri Sukaasih, Ujungberung. Badebah berkembang pesat. Yang ikut nongkrong kemudian bukan cuma anak-anak metal, tapi juga berbaur dengan punks, hardcore, dan lain-lain. Marchell, penabuh drum Puppen di dua album awal mereka adalah salah satu anggota Badebah yang termuda. Selain Funeral, band yang juga tergabung dalam komunitas ini adalah Necromancy dan Jasad. Sementara itu di Kota Bandung secara umum, band yang seangkatan dengan Funeral adalah Rebels Youth, Succubuss, Insanity, dan Mortir. Badebah juga sempat menjadi program siaran radio Salam Rama Dwihasta di Sukaasih, Ujungberung antara tahun 1992 hingga 1993. Program ini bahkan memiliki rating yang tinggi. Dalam seminggu para penyiar kita—Agung, Dinan, Uwo, Iput—bisa mendapatkan surat dan kartu pos lebih dari dua ratus hingga tiga ratus pucuk.

Di sudut lain, anak-anak Ujungberung yang lebih muda, mulai membentuk komuitas sendiri-sendiri atau bergabung dengan komunitas-komunitas metal yang baru lahir saat itu. Mereka nongkrong di Jogja Kepatihan, Kings, dan Palaguna. Semakin intens bertemu, mereka kemudian sepakat membentuk organisasi pecinta metal ekstrim. Organisasi tersebut kemudian berdiri dengan nama Bandung Lunatic Underground (BLU) tahun 1993. Sosok di baliknya antara lain adalah scenester Ipunk, Romy, Gatot, Yayat, dan Dani.

Di Ujungberungnya sendiri, komunitas kemudian berkembang. Sebelunya di sana sudah ada band Orthodox yang didirikan Yayat (Revolt! Records), Dani (Jasad), AyiOto (Sacrilegious), dan Agus (Sacrilegious) tahun 1988. Band-band kemudian tumbuh semakin subur di Ujungberung ketika Studio Palapa berdiri. Band-band Ujungberung pula yang kemudian rajin merilis album mereka secara independen. Dari sepuluh rilisan scene indie Indonesia tahun 1995 yang berhasil didokumentasikan Majalah Hai, tiga rilisan di antaranya berasal dari Ujungberung, mereka adalah Sacrilegious degan album Lucifer’s Name Be Pray, Sonic Torment album Haatzaai Artikelen, dan Jasad dengan album C’st La Vie. Pergerakan scene Ujungberungan semakin solid ketika mereka membentuk organisasi jaringan kerja sama komunitas metal Indonesia, Exteme Noise Grinding (ENG). Program ENG adalah melakukan propaganda pergelaran musik Ujungberung yang kemudia kita kenal dengan Bandung Berisik, dan membuat zine. Revograms edisi pertama, Maret 1995 buatan ENG disebut-sebut sebagai zine pertama di scene musik bawahtanah Indonesia.

Ujungberung segera menjadi episentrum musik metal bawahtanah Bandung, bahkan Indonesia. Dinamika perkembangan mereka didukung penuh oleh studio latihan da rekaman, Palapa Studio yang dirintis oleh kang Memet Sjaf. Bersama Yayat, Kang Memet pula yang kemudian membangun karakter sound awal Ujungberungan yang khas dan powerfull. Dari studio ini juga lahir band-band yang kini menjadi ikon scene musik metal bawahtanah yang lahir setelah era Orthodox-Funeral-Necromancy-Jasad. Mereka adalah Three Side of Death, Analvomit, Disinherit, Sacrilegious, Sonic Torment, Morbus Corpse, Forgotten, Burgerkill, Naked Truth, Embalmed, Beside, dan sebagainya.

ENG kemudian melebur menjadi lebih cair. Program kegiatan perahan beralih secara alami sesuai dengan kebutuhan saat itu : kru pendukung band-band yang manggung. Maka dimulailah tradisi pembinaan kru di Ujungberung. Mereka kemudian disebut sebagai Homeless Crew, nama yang dibuat oleh Ivan Scumbag, Kimung, dan Addy Gembel sebagai manifestasi dari menolak gaya hidup mapan. Gaya hidup jalanan kemudan mewarai keseharian dan pada giliranya, pola pikir Homeless Crew. Sementara itu, semakin intensnya anak-anak Homeless Crew belajar sound dan alat-alat, memuat mereka semakin bergairah unutk membentuk band. Hingga tahun 1997 setidakya ada enam belas band di Homeless Crew. Mereka sepakat untuk mengumpulkan karya mereka dalam satu komplasi yang mereka namakan Ujungberung Rebels. Tahun 1998 kompilasi itu dirilis oleh Independen Records dengan judul Independen Rebels. Kompilasi ini mendapat sorotan yang baik dari berbagai kalangan. Anak-anak Homeless Crew pun pelan-pelan punya sebutan baru untuk komunitasnya : Ujungberung Rebels.

Pada masa ini, di daerah perkotaan pertumbuhan scene musik indie juga semakin pesat. Berbagai genre lahir dan berkembang, berbagai pertunjukan musik bawahtanah silih berganti digelar di gedung pergeraran musik bawahtanah saat itu, Gor Saparua. Tak tanggung-tanggung hampir setiap minggu sejak Hullaballo I—event musik bawahtanah pertama di Kota Bandung tahun 1994—pertunjukan musik bawahtanah digelar. Namanya macam-macam, Bandung Underground, Gorong-Gorong Bandung, Campur Aduk, Bandung Berisik, Boomer, Master of Underground, dan lain-lain. Pergelaran ini stereotip : menampilkan band-band lokal Bandung, kadang juga mengundang band-band luar Bandung, yang memainkan jenis musik berbeda-beda. Dari panggung inilah besar band-band ikonik semacam Puppen, Jasad, Burgerkill, Forgotten, Sacrilegious, Full of Hate, Pure Saturday, Closeminded, Koil, Motordeath, Noise Damage, Hellgods, Homicide, Nicfit, Rutah, The Clown, Turtles Jr., Noin Bullet, Agent Skins, Jeruji, Helm Proyek, Cherry Bombshell, Sieve, dan lain-lain.

Perlahan setiap komunitas kemudian membangun sebuah jejaring yang mewarnai seluruh aspek kehidupan orang-orang yang hidup di dalamnya. Wujud dari jaringan ini adalah maraknya ompilasi yang dirilis label dalam indie dalam negeri maupun luar negeri yang menyertakan band-band lokal. Tidak berhenti di situ, tahun 1999, FastForward Records merilis beberapa album band luar negeri seperti The Chinkees (Amerika), Cherry Orchard (Perancis), dan 800 Cheries (Jepang). Pada kelanjutannya, malah band-band local Bandung yang kemudian banyak dirilis label asing. Beberapa di antaranya adalah Forgotten, Jasad, Homicide, Domestik Doktrin, dan yang paling aktual adalah Bugerkill.

Perkembangan band yang menggembirakan ini juga ditambah dengan mulai maraknya pembuatan merchandise yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan industri kloting di Kota Bandung. Bisnis distro kecil-kecilan yang telah dirintis Reverse menelurkan banyak embrio lain. Maka kemudian lahirlah klotingan dan distro seperti Rebellion Shop, 347 Boardrider & Co., No Label Stuff, Airplane Apparel System, Ouval Research, Riotic, Anonim, Harder, Monik, dan sebagainya. Kemunculan toko-toko semacam ini kemudian tidak hanya menandai perkembangan scene anak muda di Kota Bandung, tetapi juga kota-kota lain semisal Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan sebagainya.

Selain musik, olah raga ekstrim, dan fashion, literasi juga berkembang pesat di Kota Bandung. Sejak kemunculan Revograms tahun 1995, puluhan zine—media berbagi informasi dan berkomunikasi antar komunitas berupa selembaran atau majalah kecil format fotokopian—lahir bagai jamur di musim hujan. Dapat dikatakan, era zine bisa disebut sebagai kebangkitan kedua literasi Bandung setelah era Majalah Aktuil tahun 1970an yang dibangun oleh Sonny Suriaatmadja, Denny Sabri Gandanegara, dan Remy Sylado. Zine-zine ini diedarkan di distro-distro. Ada yang gratisan, ada juga yang dijual. Isinya memuat berbagai kabar dan isu mengenai dinamika komunitas yangbersangkutan dengan zine dan scene indie Bandung, Indonesia, dan internasional secara umum.

Tak lama setelah kemunculan Revograms, kemudian lahirlah fanzine indie seperti Swirl, Tigabelas, Membakar Batas dan yang lainnya ikut meramaikan media indie Bandung. Ripple dan Trolley muncul sebagai majalah yang membahas kecenderungan subkultur Bandung dan jug lifestylenya. Trolley akhirnya kolaps tahun 2002, sementara Ripple berubah dari pocket magazine ke format majalah standar. Sementara fanzine yang umumnya fotokopian hingga kini masih terus eksis.

Pada masa pertengahan1990an hingga tahun 2000an, ketika industri fashion masih dalam taraf perkembangan, distro-distro masih menyediakan ruang bagi scenester untuk saling bertemu, berdiskusi, dan saling berbagi informasi. Distro menjadi semacam ruang sosial tempat bertemu komunitas dan tempat peredaran zine. Ini terlihat dari isi zine yang hampir semuanya memuat kabar-kabar berkaitan dengan dinamika komunitas. Ketika orientasi distro tahun 2000an semakin meleceng dari pendukungan dinamika komunitas menuju ‘dagang murni’, ruang-ruang diskusi semakin terbatas. Zine pun bermutasi bentuknya, bukan lagi media propaganda pengembangan komunitas, tempat berbagi informasi, dan saling berkomunikasi, tetapi hanya berperan sebagai katalog dagang semata.

Namun demikian, hal itu tak mengganggu teakd pengembangan literasi di scene bawahtanah Bandung. Puncaknya adalah tahun 2000an dengan berdirinya toko-toko buku yang diawali dengan berdirinya Tobucil, Ultimus, Rumah Buku, dan Omuniuum. Tempat-tempat diskusi dan ruang peredaran zine yang dulu menggunakan ruang-ruang distro, kini beralih ke toko buku. Selain toko buku, yang kemudian berkembang adalah penerbitan independen yang tumbuh dari kultur komunitas musik. Minor Books adalah salah satu penerbitan yang berkomitmen mengangkat karya-karya dan sejarah komunitas. Buku terbitannya, Myself : Scumbag Beyond Life and Death karya Kimung tahun 2007 dapat disebutkan sebagai karya pertama yang mendokumentasikan scene musik bawahtanah secara komprehensif dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir. Yang patut dicermati adalah bahwa buku ini merupakan buku pertama dari rangkaian buku trilogi sejarah scene bawahtanah Bandung yang akan digarap Minor Books. Buku kedua rencananya berjudul Panceg Dina Galur, Ujungberung Rebels, dan buku ketiga rencananya Bawahtanah Bandung 1980-2010.

Sementara itu, perkembangan fashion di Kota Bandung ternyata tak tumbuh hanya di kloting saja. Berbagai macam bentuk perayaan di ruang-ruang publik menyumbangkan hal yang besar bagi dinamika pertumbuhan fashion. Dari mulai acara-acara semacam konser musik, Pasar Seni ITB, Dago Festival sampai pada kegiatan demontrasi politik dan balapan motor yang sering muncul dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir di jalan-jalan utama kota Bandung memfasilitasi orang-orang Bandung untuk keluar rumah dan mempertontonkan dirinya. Hal inilah yang agaknya kemudian membawa berkah istimewa bagi perkembangan musik, juga termasuk perkembangan street fashion di Bandung, yang kemudian sedikit banyak juga ikut mendorong pertumbuhan distro-distro yang ada untuk terus berkembang biak. Selain itu, warga Kota Bandung juga mendapatkan sarana fashion daur ulang di wilayah Tegalega yang konon dihuni sekitar 3000 lapak penjaja pakaian bekas pakai yang kebanyakan diimpor dari luar negeri. Berbeda dengan distro, bisnis impor pakaian bekas yang sejak tahun ’95-an berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain semisal daerah Cibadak, Kebun Kelapa, sampai akhirnya di daerah Tegalega ini terlihat jauh lebih sederhana. Walaupun sekarang aktifitas di Tegalega sudah dipindahkan ke tempat yang lain (daerah Gedebage, Ujungberung), tempat ini tetap memiliki pengaruh yang khusus bagi perkembangan fashion di kota Bandung.

Sementara itu, sebuah fenomena baru merebak di awal tahun 2000an ketika Gor Saparua akhirnya dilarang digunakan untuk konser-konser musik. Setelah itu, pertunjukan musik bawahtanah juga semakin jarang diadakan karena semakin dipersulitnya masalah perizinan dan kendala dalam soal dana. Dapat dikatakan ini adalah sebuah fase yang paling memprihatinkan dalam perkembangan scene musik indie Bandung di mana kota yang dinasbihkan sebagai barometer musik Indonesia ini ternyata sama sekali tak mempunyai sarana yang memadai sebagai gedung konser, juga tak memiliki regulasi yang baik yang dapat mengembangkan potensi seni warga masyarakatnya. Pergelaran yang kemudian marak adalah pergelaran setingkat pensi-pensi yang umumnya menyasar musik-musik yang lagi tren. Pertengahan tahun 2000 rock n’ roll modern dan emocore semakin merajai panggung-panggung musik Bandung.

Namun demikian, militansi kaum bawahtanah bagaikan tak ada habisnya. Tak bisa manggung di kelas Saparua, scene ini muali bergerak perkomunitas. Mereka menggelar pertunjukan-pertunjukan kecil, di tempat-tempat yang lebih kecil, dengan audiens yang lebih sedikit, eksklusif, dari mereka-oleh mereka-untuk mereka. Bebrapa tempat yang sering digunakan adalah TRL Bar di Braga, diskotik Nasa di Jalan Asia Afrika, dan Gedung AACC di Braga. Pertunjukan-pertunjukan juga kadang digelar di ruang-ruang inisiatif semacam Commonroom, selain juga curi-curi di ruang publik manapun yang mau bekerja sama dengan komunitas. Anak punk misalnya, biasa menggelar gigs di Villa Putih, Lembang. Atau anak-anak Ujungberung Rebels dengan faksi baru mereka Bandung Death Metal Syndicate yang menggelar Bandung Deathfest berkolaborasi dengan kelompok kaum adat Sunda. Ujungberung Rebels sendiri adalah satu-satunya komunitas bawahtanah yang mendapatkan pengakuan sebagai kampong adapt oleh kelompok adat Sunda. Mereka diberi nama “Kelompok Kampung Sunda Underground.”

Untunglah, kondisi yang tidak kondusif ini diimbangi dengan berkembangnya teknologi media dan informasi. Salah satu contohnya adalah perkembangan teknologi rekaman yang memungkinkan band-band merekam musik mereka dengan menggunakan komputer, sehingga tidak lagi harus bersandar pada industri mainstream dan produk impor. Saat ini, industri musik di Bandung sudah biasa diproduksi di studio-studio kecil, rumah, maupun di kamar kost. Selain itu, perkembangan di bidang teknologi informasi juga memudahkan setiap komunitas yang ada untuk berhubungan dan mendapatkan informasi yang mereka butuhkan. Melalui jaringan internet yang sudah berkembang sejak tahun 1995-an, Kota Bandung saat ini sudah menjadi bagian dari jaringan virtual yang semakin membukakan pintu menuju jaringan global.

Kehadiran MTV pun setidaknya memiliki peran yang tidak sedikit, karena melalui stasiun inilah beberapa band underground Bandung mendapat kesempatan untuk didengar oleh publik secara lebih luas. Selain itu, para presenter MTV siaran nasional pun tidak segan-segan untuk memakai produk-produk dari kloting lokal yang berasal dari Kota Bandung, sehingga produk mereka menjadi semakin populer. Dampaknya tentu saja tidak kecil. Selama beberapa tahun terakhir warga Kota Bandung mungkin sudah mulai terbiasa dengan jalan-jalan yang macet pada setiap akhir minggu. Selain menyerbu factory outlet, para pengunjung yang datang ke Kota Bandung pun biasanya ikut berbondong-bondong mendatangi distro-distro yang ada, sehingga memicu pola pertumbuhan yang penting, terutama dari segi ekonomi.

Pertumbuhan ini ternyaa tidak berbanding lurus dengan penyediaan sarana-sarana yang dapat menunjang kreativitas anak muda Bandung untuk terus berkarya. Tidak adanya gedung konser lambat laun terasa menjadi kendala yang menghambat perkembangan dinamika musik di Kota Bandung. Hal ini kemudian mencuat ketika tanggal 9 Februari 2008, sebelas orang penonton meninggal di pergelaran launching album band Beside di Gedung AACC. Selama konser, semua berjalan dengan sangat tertib hingga akhirnya dua puluh menit setelah konser berakhir dan para penonton yang berebut untuk keluar bentrok dengan para penonton yang berebut ingin masuk ke dalam arena pertunjukan tanpa tahu kalau gig telah berakhir. Akhirnya, sebelas orang mati lemas dan terinjak-injak dalam tragedi tersebut.

Tragedi ini pada kelanjutannya membukakan mata banyak pihak bahwa betapa kita sudah terlalu asyik sendiri tanpa menyadari jika komunitas ini semakin berkembang dan perlu untuk dibina. Betapa komunitas ini semakin besar dan karenanya diperlukan sebuah ruang yang lebih besar untuk menunjang perkembangan mereka. Tragedi ini juga kemudian dijadikan sebagai ajang konsolidasi antar komunitas kreatif di Kota Bandung untuk maju bersama dalam sebuah pergerakan ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang inklusif, integratif, aplikatif, dan strategis. Dua di antara banyak sekali simpul yang terbentuk secara alami dalam proses ini adalah Solidaritas Independen Bandung (SIB) dan Bandung Creative City Forum (BCCF) yang di dalamnya terdiri dari komunitas berbagai disiplin keilmuan, dari musisi, perupa, penulis, teknokrat, desainer, arsitek, bikers, ahli hukum, pengusaha, mahasiswa, aktivis lingkungan, penggiat film dan literasi, kelompok kampung adat Sunda, dan lain-lain. Salah satu manifestasi simpul-simpul komunitas ini adalah digelarnya Helarfest 2008 yang merupakan sebuah rangkaian 31 event yang diikuti komunitas-komunitas kreatif Kota Bandung yang digelar sepanjang Juli hingga Agustus 2008.

Scene Jakarta

Di Jakarta, komunitas music bawahtanah pertama kali tampil di depan publik pada awal tahun 1988. Komunitas anak metal—demikian mereka disebut karena saat itu istilah ‘underground’ atau ‘indie’ masih belum popular—biasa nongkrong di Pid Pub, sebuah pub kecil di kawasan pertokoan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Krisna J. Sadrach pentolan Sucker Head mengenang, anak-anak yang nongkrong di sana oleh Tante Esther, pemilik Pid Pub, sering diberi kesempatan untuk bisa manggung. Setiap malam minggu biasanya selalu ada live show dari band-band baru di Pid Pub dan kebanyakan band-band tersebut mengusung musik rock atau metal. Beberapa band pasti tak asing bagi kita, seperti Roxx, Sucker Head, Commotion Of Resources, Painfull Death, Rotor, Razzle, Parau, Jenazah, Mortus hingga Alien Scream. Beberapa band kemudian bereinkarnasi di sini, misalnya Commotion Of Resources yang merupakan cikal bakal Getah dan Parau yang merupakan embrio Alien Scream. Selain itu Oddie, vokalis Painfull Death selanjutnya membentuk grup industrial Sic Mynded di Amerika Serikat bersama sutradara Rudi Soedjarwo. Rotor sendiri dibentuk tahun 1992 setelah Irvan Sembiring merasa kurang ekstrim bermain di Sucker Head.

Saat itu, Jakarta juga memiliki stasiun radio yang khusus memutarkan lagu-lagu rock dan metal. Radio tersebut adalah Radio Bahama, Radio Metro Jaya, Radio SK, dan yang paling legendaris, Radio Mustang. Mereka punya program bernama Rock N’ Rhythm yang mengudara setiap Rabu malam dari pukul 19.00 – 21.00 WIB. Stasiun radio ini bahkan sempat disatroni langsung oleh dedengkot thrash metal Brasil, Sepultura, kala mereka datang ke Jakarta bulan Juni 1992. Selain radio, media massa yang kerap mengulas berita-berita rock/metal pada waktu itu adalah Majalah HAI, Tabloid Citra Musik dan Majalah Vista.

Tempat nongkrong yang lain adalah di pelataran Apotik Retna, daerah Cilandak, Jakarta Selatan. Beberapa selebritis muda yang dulu sempat nongkrong bareng anak-anak metal ini antara lain Ayu Azhari, Cornelia Agatha, Sophia Latjuba, Karina Suwandi hingga Krisdayanti. Ayu Azhari bahkan sempat dipersunting (alm) Jodhie Gondokusumo (vokalis Getah dan Rotor) menjadi istri. Lokasi lainnya adalah, tentu saja, Studio One Feel. Hampir semua band bawahtanah Jakarta pasti pernah berlatih di sini. Sementrara itu, tempat khusus manggung selain Pid Pub adalah Black Hole dan restoran Manari Open Air di Museum Satria Mandala (cikal bakal Poster Café). Di luar itu, di paling pentas seni SMA dan acara musik kampus band-band bawahtanah Jakarta sering unjuk gigi kemampua mereka. Beberapa pensi yang historikal di antaranya adalah Pamsos (SMA 6 Bulungan), PL Fair (SMA Pangudi Luhur), Kresikars (SMA 82), musik kampus Universitas Nasional (Pejaten), Universitas Gunadarma, Universitas Indonesia (Depok), Unika Atmajaya Jakarta, Institut Teknologi Indonesia (Serpong), dan Universitas Jayabaya (Pulomas).

Konser Sepultura (1992) dan Metallica (1993) di Jakarta memberi kontribusi cukup besar bagi perkembangan band-band metal sejenis, terutama di Jakarta. Banyak band-band bawahtanah kemudian dilirik mayor label dan dirilis albumnya. Di antaranya adalah Roxxx self-tittled, Rotor album Behind The 8th Ball (AIRO), dan Sucker Head dengan album The Head Sucker.

Setelah era inilah baru benar-baner terbentuk scene-scene bawahtanah dalam arti yang sebenarnya di Jakarta. Konsolidasi scene sering dilakukan di lantai 6 game center Blok M, di sebuah resto waralaba, dan sebagian lainnya memilih nongkrong di basement Blok Mall yang kebetulan letaknya berada di bawah tanah. Aktifitas mereka selain nongkrong dan bertemu kawan-kawan sehasrat adalah bertukar informasi tentang band-band lokal dan global, barter CD, jual-beli t-shirt, hingga merencanakan pergelaran konser. Di era ini hype musik metal digandrungi adalah death metal, brutal death metal, grindcore, black metal hingga gothic/doom metal. Beberapa band yang tumbuh dari scene ini adalah Grausig, Trauma, Aaarghhh, Tengkorak, Delirium Tremens, Corporation of Bleeding, Adaptor, Betrayer, Sadistis, Godzilla dan masih banyak lagi. Tengkorak pada tahun 1996 malah tercatat sebagai band yang pertama kali merilis mini album secara independen di Jakarta dengan judul It’s A Proud To Vomit Him.

Tahun yang sama juga mencatatkan kelahiran fanzine musik bawahtanah pertama di Jakarta, Brainwashed Zine yang dirilis oleh Wenk Rawk. Edisi pertamanya terbit 24 halaman dengan menampilkan cover Grausig dan profil band Trauma, Betrayer serta Delirium Tremens. Di ketik di komputer berbasis sistem operasi Windows 3.1 dan lay-out cut n’ paste tradisional, Brainwashed diperbanyak 100 eksemplar dengan mesin foto kopi milik saudara Wenk Rawk. Di edisi-edisi berikutnya Brainwashed mengulas pula band-band hardcore, punk, bahkan ska. Tahun 1997, Brainwashed sempat dicetak ala majalah profesional dengan cover penuh warna. Brainwashed hanya bertahan hingga edisi ke tujuh tahun 1999, sebelum akhirnya di tahun 2000 Wenk Rawk menggagas e-zine di internet dengan nama http://www.bisik.com. Media-media yang selanjutnya lebih konsisten terbit di Jakarta adalah Morbid Noise zine, Gerilya zine, Cosmic zine, dan Rottrevore zine. Rottrevore merupakan kerja sama Rio dari Jakarta dengan Ferly, scenester pionir Ujungberung Rebels.

Tanggal 29 September 1996 adalah tanggal bersejarah bagi scene musik bawahtanah Jakarta. Hari itu, Poster Café milik rocker gaek Ahmad Albar pertama kali menggelar acara musik bawahtanah “Underground Session”. Acara ini kemudian dirutinkan tiap dua minggu sekali pada malam hari kerja. Dari café inilah kemudian lahir band indie baru yang memainkan genre musik berbeda dan lebih variatif, hingga ke ranah musik brit/indie pop, hingga ska. Getah, Brain The Machine, Stepforward, Dead Pits, Bloody Gore, Straight Answer, Frontside, RU Sucks, Fudge, Jun Fan Gung Foo, Be Quiet, Bandempo, Kindergarten, RGB, Burning Inside, Sixtols, Looserz, HIV, Planet Bumi, Rumahsakit, Fable, Jepit Rambut, Naif, Toilet Sounds, Agus Sasongko & FSOP adalah sebagian kecil band-band yang `kenyang’ manggung di sana. Dari Bandung, Burgerkill adalah salah satu langganan Poster Café. “Underground Session” Poster Café juga yang merupakan panggung scene bawahtanah bagi Burgerkill.

Setelah kerusuhan besar akibat bentrok anak-anak punk dengan warga dan kepolisian dalam acara Subnormal Revolution tanggal 10 Maret 1999, Poster Café akhirnya ditutup. Tutupnya Poster Café di luar dugaan malah menyuburkan venue-venue alternatif bagi masing-masing scene musik indie. Café Kupu- Kupu di Bulungan misalnya identik dengan scene musik ska, Pondok Indah Waterpark, GM 2000 café dan Café Gueni di Cikini untuk scene Brit/indie pop, Parkit De Javu Club di Menteng untuk gigs punk/hardcore dan juga indie pop. Belakangan BB’s Bar yang super- sempit di Menteng sering disewa untuk acara garage rock-new wave-mellow punk juga rock yang kini sedang hot, seperti The Upstairs, Seringai, The Brandals, C’mon Lennon, Killed By Butterfly, Sajama Cut, Devotion dan banyak lagi. Di antara semuanya, mungkin yang paling `netral’ dan digunakan lintas-scene cuma Nirvana Café yang terletak di basement Hotel Maharadja, Jakarta Selatan. Di tempat inilah, 13 Januari 2002, Puppen `menghabisi riwayat’ mereka dalam sebuah konser bersejarah yang berjudul, “Puppen : Last Show Ever”.

Scene Yogyakarta

Para scenester Yogyakarta ternyata tidak ketinggalan dalam mengembangkan scene indie di kotanya. Berbagai komunitas tumbuh di kota ini antara awal hingga pertengahan tahun 1990an, mulai dari komuitas musik metal, punk, hardcore, musik elektronik, dan industrial. Salah satu komunitas yang paling menonjol mungkin adalah Jogja Corpse Grinder. Dari tangan scenester-scenester komunitas inilah, sempat lahir fanzine metal Human Waste, majalah Megaton, serta pergelaran musik metal bawahtanah legendaris di Yogyakarya, Jogja Brebeg. Dari pergelaran-pergelaran musik metal bawhatanah yang digelar komunitas inilah kemudian lahir band-band metal bawahtanah lawas yang kemudian mewarnai scene kota ini. Mereka antara lain adalah Death Vomit, Mortal Scream, Impurity, Brutal Corpse, Mystis, dan Ruction.

Menginjak tahun 1997, scene punk, hardcore, industrial di Yogyakarta mulai bernai menampakkan taringnya. Sebutlah band-band yang kemudian begitu menginspirasi kaum-kaum muda di Yogyakarta seperti Sabotage, Something Wrong, Noise For Violence, Black Boots, DOM 65, Teknoshit hingga yang paling terkini, Endank Soekamti. Di ranah scene indie rock/pop, beberapa nama yang patut di beri highlight adalah Seek Six Sick, Bangkutaman, Strawberry’s Pop, sampai The Monophones. Dari Yogyaarta pula lahir band ska yang sangat keren, Shaggy Dog. Band yang dikontrak Sony ini pernah juga menjajal panggung Eropa dalam tur Eropa mereka selama tiga bulan penuh!

Dalam hal pergelaran musik, selain Jogja Brebeg, Yogyakarta juga tercatat memiliki pergelaran khas lainnya, yaitu Parkinsound. Gelaran ini adalah ajang unjuk gigi band-band yang menganut aliran musik elektronik. Bisa dikatakan, Parkinsound merupakan festival musik elektronik yang pertama di Indonesia. Beberapa band yang besar dari festival Parkinsound adalah Bangkutaman, hingga Garden Of The Blind, Mock Me Not, Teknoshit, Fucktory, Melancholic Bitch dan Mesin Jahat.

Scene Surabaya

Scene musik bawahtanah Surabaya mulai tumbuh subur sejak lahirnya band-band independen beraliran death metal dan grindcore sekitar pertengahan tahun 1995. Band-band ini tumbuh dari kultur festival tahunan Surabaya Expo di mana band-band metal bawahtanah seperti Slowdeath, Torture, Dry, Venduzor, dan Bushido manggung di sana. Surabaya Expo pada kelanjutannya ternyata mempersatukan band-band tersebut. Setelah event itu, band-band tersebut sepakat untuk mendirikan sebuah organisasi yang bernama Independen.

Organisasi ini bermarkas di daerah Ngagel Mulyo, bertujuan untuk mewadahi band, sekaligus menjadi pemersatu dan sarana sosialisasi informasi antara musisi, band-band, atau pecinta msuik metal bawahtanah. Markas Independen juga merupakan sebuah studio milik band metal berpersonil cewek semua, Retribeauty, di mana band-band metal bawahtanah Surabaya sering berlatih di sana. Anggota-anggota organisasi merupakan cikal bakal terbentuknya scene bawahtanah metal di Surabaya di masa-masa selanjutnya. Organisasi ini sangat serius dalam mengembangkan komunitasnya. Mereka malah memiliki divisi label rekaman sendiri. Independen juga sempat merencanakan sebuah pergelaran msuik metal bawahtanah se-Surabaya di taman Remaja, namun karma kurang konsolidasi ke dalam organisasi, terpaksa rencana pergelaran ini batal. Independen sendiri kemudian bubar bulan Desember 1997 ketika dinamika musik bawahtanah Surabaya semakin hebat. Organisasi ini dibubarkan sebagai upaya memperluas jaringan agar semakin tidak tersekat-sekat atau menjadi terkotak-kotak komunitasnya.

Pada masa-masa terakhir sebelum bubarnya Independen, divisi record label mereka tercatat sempat merilis beberapa buah album milik band-band death metal/grindcore Surabaya, misalnya debut album milik Slowdeath yang berjudul From Mindless Enthusiasm to Sordid Self-Destruction, September 1996, debut album Dry berjudul Under The Veil of Religion yang rilis tahun 1997, album Carnal Abuse milik Brutal Torture, Wafat album Cemetery of Celerage, dan debut album Fear Inside yang berjudul Mindestruction. Tahun-tahun berikutnya barulah bawahtanah metal di Surabaya dibanjiri oleh rilisan-rilisan album milik Growl, Thandus, Holy Terror, Kendath hingga Pejah.

Organisasi pecinta metal ekstrim setelah Independen adalah Surabaya Underground Society (SUS). Organisasi ini dideklarasikan tepat di malam tahun baru 1997 di kampus Universitas 1945, saat diselenggarakannya pergelaran Amuk I. Hingga saat itu, Surabaya sedang demam band black metal. Bahkan salah satu pionir death metal Surabaya, Dry, berubah aliran musik menjadi black metal dan semakin memberikan nuansa baru di kancah musik bawahtanah Surabaya. Masa ini black metal menguasai scene musik metal bawahtanah Surabaya.

Merasa semakin kuat, anak-anak black metal Surabaya meutuskan untuk memisahkan diri dari SUS dan mendirikan organisasi tersendiri khusus untuk anak-anak black metal. Organisasi anak-anak black metal tersebut akhirnya berdiri dengan nama Army of Darkness, bermarkas di daerah Karang Rejo. Organisasi ini juga yang kemudian menyebabkan SUS bubar beberapa bulan setelah deklarasi pendiriannya. Army of Darkness juga menyumbangkan semagat indie kepada scene musik bawahtanah Surabaya. Didukung oleh massa yang sangat banyak, black metal kemudian mendominasi scene ekstrem metal di Surabaya. Mereka juga lebih intens dalam menggelar event-event musik black metal karena banyaknya jumlah band black metal yang muncul. Tercatat kemudian event black metal yang sukses digelar di Surabaya seperti Army of Darkness I dan Army of Darkness II.

Berbeda dengan black metal, band-band death metal selanjutnya memutuskan tidak ikut membentuk organisasi baru. Namun tak berarti pergerakan mereka melempem. Di bulan September 1997 Amuk II kembali digeber, kini digelar di di IKIP Surabaya. Event ini kemudian mencatat sejarah sendiri sebagai event paling sukses di Surabaya kala itu. 25 band death metal dan black metal dari dalam dan luar kota tampil memeriahkan gelaran itu sejak pagi hingga sore hari dan ditonton oleh kurang lebih 800 – 1000 orang.

Dengan dinamika tersebut, anak-anak death metal kembai terpacu untuk membuah sebuah wadah perkumulan pecinta death metal yang baru. Tanggal 1 Juni 1998 berdirilah komunitas bawahtanah Inferno 178 yang markasnya terletak di daerah Dharma Husada, kawasan Jl. Prof. DR. Moestopo. Di sinilah mereka bergabung membuat divisi-divisi pengembangan komunitas mereka sendiri. Ada distro, studio musik, indie label, fanzine, warnet, serta event-event organizer yang secara intens menggarap berbagai pergelaran musik bawahtanah Surabaya. Event-event yang pernah di gelar oleh Inferno 178 antara lain adalah, Stop the Madness, Tegangan Tinggi I dan II, hingga Bluekhutuq Live. Dari pergelaran-pergelaran musik tersebut kemudian mencuat nama-nama yang kini tak asing lagi bagi kita, seperti Slowdeath, The Sinners, Severe Carnage, System Sucks, Freecell, dan Bluekuthuq. Inferno 178 juga menggagas terbitnya fanzine Surabaya bernama Post Mangled yang pertama—dan terakhir—kali terbit sebagai sebuah isu di pergelaran Tegangan Tinggi I di kampus Universitas Airlangga. Acara ini tergolong kurang sukses karena pada waktu yang bersamaan juga digelar sebuah event black metal.

Karena Post mangled tak juga terbit, para scenester Surabaya kemudian menerbitkan Garis Keras Newsletter sebagai antisipasi terjadinya stagnansi atau kesenjangan informasi di dalam scene. Newsletter ini terbit pertama kali bulan Februari 1999 dengan format fotokopian yang memiliki jumlah 4 halaman. Isinya mengulas berbagai aktivitas musik bawahtanah metal, punk hingga hardcore di tingkat local Surabaya dan Indonesia, serta scee global dunia. Garis Keras Newsletter bertahan hingga edisi ke dua belas.

Di ranah label, hingga tahun 2000 Inferno 178 masih menggunakan nama Independen sebagai nama label mereka. Memasuki tahun 2000 label Inferno 178 Productions resmi memproduksi album band punk tertua di Surabaya, The Sinners denga albumnya Ajang Kebencian. Selanjutnya label Inferno 178 Production ini kemudian lebih terfokus untuk menggarap rilisan-rilisan berkategori non-metal. Untuk mendukung rilisan album band-band metal Surabaya, mereka membentuk sebuah label tersendiri yang diberi nama Bloody Pigs Records. Label rekaman ini diurus oleh Samir, kini gitaris Tengkorak, dengan album kedua Slowdeath yang berjudul Propaganda sebagai proyek pertamanya. Proyek ini kemudian dilengkapi dengan pergelaran konser promo tunggal Slowdeath di Café Flower bulan September 2000.

Scene Malang

Scene musik bawahtanah Malang muali bagkit dari kubur sejak awal hingga pertengahan tahun 1990an. Tak namun, tak diragukan kebangkitan scene metal bawahtanah lah yang pertama kali enstimulasi pergerakan scene indie di Malang. Adalah komuntas musik metal bawahtanah Total Suffer Community (TSC) yang menjadi motor penggerak bagi kebangkitan komunitas rock bawahtanah di Malang sejak awal 1995. Disebut-sebut juga, pergerakan scene musik bawahtanah Malang sangat mirip dengan dinamika scene yang terjadi di Kota Bandung. Hal ini dpat ditelaah dari persamaan kondisi kedua kota. Baik Malang maupun Bandung sama-sama beriklim sejuk, didesain oleh desainer kota yang sama untuk kepentingan pemukiman orang Eropa dan pusat kegiatan militer, dan ini : banyak scenester Malang yang digembleng langsung di kantung-kantung komunitas musik bawahtanah Bandung decade awal dan pertangahan 1990an.

Sebut saja Samack yang sempat “magang” di Ujungberung serta klaster-klaster lain seperti Cihapit, Cihampelas, dan Tamansari—pusat-pusat metal di Kota Bandung. Atau scenester lain seperti Afril, Budi, dan Arfan yang setia berhubungan dengan scenester-scenester Bandung di masa-masa awal kebangkitannya. Merekalah yang kemudian membangun TSC yang merangkul seluruhpecinta musk metal secara umum. Alhasil, anggota TSC terdiri dari berbagai macam musisi lintas-scene, walau tetap saja didominasi anak-anak metal. Konser rock bawahtanah yang pertama kali digelar di kota Malang diorganisir pula oleh komunitas ini. Acara bertajuk Parade Musik Bawahtanah tersebut digelar di Gedung Sasana Asih YPAC pada tanggal 28 Juli 1996 dengan menampilkan band-band lokal Malang seperti Bangkai, Ritual Orchestra, Sekarat, Knuckle Head, Grindpeace, No Man’s Land, The Babies, dan juga band-band asal Surabaya seperti Slowdeath dan The Sinners.

Beberapa band Malang lainnya yang patut di beri kredit antara lain Keramat, Perish, Genital Giblets, Santhet dan tentunya Rotten Corpse. Band yang terakhir disebut malah menjadi pelopor style brutal death metal di Indonesia. Album debut mereka yang berjudul Maggot Sickness saat itu menggemparkan scene metal di Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Bali karena komposisinya yang solid dan kualitas rekamannya yang top.

Belakangan band ini pecah menjadi dua dan salah satu gitaris sekaligus pendirinya, Adyth, hijrah ke Bandung dan membentuk Disinfected. Di kota inilah lahir untuk kedua kalinya fanzine musik di Indonesia. Namanya Mindblast Zine yang diterbitkan oleh dua orang scenester, Afril dan Samack pada akhir 1995. Afril sendiri merupakan eks-vokalis band Grindpeace yang kemudian eksis di band crust-grind gawat, Extreme Decay. Kini, arek-arek Malang punya webzine sendiri yang digagas para pionir tadi. Namanya www.apokalip.com yang menawarkan tempat lebih luas untuk berbagi informasi dan menjalin komunikasi antara sesame scenester di manapun berada.

Scene Bali

Tak jauh dengan di Bndung, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Malang, di Bali pun yang menjadi motor penggerak dinamika perkembangan scene bawahtanah, maka kita akan melihat scene metallah yang pertama kali menyodok permukaan. Salah satu komunitas metal awal yang lahir di Bali adalah komunitas 1921 Bali Corpsegrinder di Denpasar. Di sinilah para scenester awal seperti Dede Suhita, Putra Pande, Age Grindcorner dan Sabdo Moelyo berkumpul dan membangun scene Bali. Dede adalah editor majalah metal Megaton yang terbit di Yogyakarta, Putra Pande adalah salah satu pionir webzine metal Indonesia Corpsegrinder (kemudian hijrah ke Anorexia Orgasm), Age adalah pengusaha distro yang pertama di Bali sejak tahun 1998, dan Moel adalah gitaris sekaligus vokalis band death metal etnik, Eternal Madness yang aktif menggelar konser bawahtanah di sana. Nama “1921” diambil dari durasi siaran program musik metal mingguan di Radio Cassanova, Bali yang berlangsung dari pukul 19.00 hingga 21.00 WITA.

Awal 1996 komunitas ini pecah dan masing-masing individunya jalan sendiri-sendiri. Moel bersama EM Enterprise, tanggal 20 Oktober 1996 menggelar konser musik bawahtanah besar pertama di Bali bernama Total Uyut di GOR Ngurah Rai, Denpasar. Band-band Bali yang tampil diantaranya Eternal Madness, Superman Is Dead, Pokoke, Lithium, Triple Punk, Phobia, Asmodius hingga Death Chorus. Sementara band- band luar Balinya adalah Grausig, Betrayer (Jakarta), Jasad, Dajjal, Sacrilegious, Total Riot (Bandung) dan Death Vomit (Yogyakarta). Konser ini sukses menyedot sekitar 2000 orang penonton dan hingga sekarang menjadi festival rock bawahtanah tahunan di sana. Salah satu alumni Total Uyut yang sekarang sukses besar ke seantero nusantara adalah band punk asal Kuta, Superman Is Dead. Mereka malah menjadi band punk pertama di Indonesia yang dikontrak 6 album oleh Sony Music Indonesia. Band-band indie Bali masa kini yang stand out di antaranya adalah Navicula, Postmen, The Brews, Telephone, Blod Shot Eyes dan tentu saja Eternal Madness yang tengah bersiap merilis album ke tiga mereka dalam waktu dekat.

Memasuki era 2000-an scene indie Bali semakin menggeliat. Kesuksesan S.I.D memberi inspirasi bagi band-band Bali lainnya untuk berusaha lebih keras lagi, toh S.I.D secara konkret sudah membuktikan kalau band `putera daerah’ pun sanggup menaklukan kejamnya industri musik ibukota. Untuk mendukung band-band Bali, drummer S.I.D, Jerinx dan beberapa kawannya kemudian membuka The Maximmum Rock N’ Roll Monarchy (The Max), sebuah pub musik yang berada di jalan Poppies, Kuta. Seringkali diadakan acara rock reguler di tempat ini.

Yang fenomenal mungkin adalah pencapaian Rudolf Dethu, sosok scenescter kawakan dari Bali yang sukses membawa S.I.D, band punk rockabilly dari Bali dari band kecil kelas indie menjadi raksasa punk nomer satu di Indonesia saat meriilis album Kuta Rock City dan menjual albumnya sampai 300 ribu keping lewat Sony BMG. Dethu boleh dibilang adalah seorang Malcom McLaren untuk band Sex Pistols, seorang manajer yang sukses juga membenahi fashion dari band miliknya. Selain karena dirnya adalah pemilik kloting Suicide Glam dengan desain bergaya punk dan rockabilly yang saat ini butiknya tersebar sampai di Australia dan Wurzburg, Jerman.

***

Maka demikianlah, semnagat bawahtanah terus menerus hidup hingga hari ini. Beberapa konsep refleksinya berevolusi dari underground di era 1990 awal, ke DIY di era 1990 pertengahan, hingga independen/indie di era 2000an. Akses internet yang semakin cepat hari ini juga sangat mendukung dinamika perkembangan scene ini. Akses informasi dan komunikasi yang terbuka lebar membuat jaringan antar komunitas seluruh Indonesia bahkan dunia semakin mudah dan terbuka lebar. Band-band dan komunitas-komunitas baru banyak bermunculan dengan menawarkan gaya musik yang lebih beragam. Trend indie label berlomba-lomba merilis album band-band lokal juga merupakan dinamika yang menggembirakan. Ratusan band baru lahir, puluhan indie label ramai-ramai merilis album, ratusan distro/kloting dibuka di seluruh Indonesia, ruang-ruang inisiatif semakin gencar membuaka ranah-ranah kreativitas scene, dan jejaring semakin mantap meneguhkan potensi politik, social, ekonomi, dantentu saja scene ini.

Namun itu adalah hasil. Yang tetap tak boleh dilupakan adalah proses menuju itu semua. Di dalamnya terkandung prinsip kebebasan dalam berkarya, kemandirian dalam mencipta, otonom dalam bersikap, berdiri tegak bicara lantang, dan sisanya, biarlah sejarah yang mencatat semuanya. Seperti kata Jim Morrison, each day is a drive thru history

Penulis adalah rekreasioner dan adiktivis akut, editor MinorBacaanKecil dan Minor Books

Bacaan Lebih Lanjut :

Heryanto, Yulli. 2001. Sejarah Musik Underground Bandung, 1990-2000, skripsi. Bandung : Fakultas Sastra, Unpad.

Iskandar, Gustaff H. 2003. “Fuck You, We are From Bandung”, makalah untuk disampaikan di Kongres Kebudayaan VII di Bukitinggi tanggal 20-22 Oktober 2003, pada sesi “Budaya Industri dan Pergulatan Identitas”. http://www.hetero-logia.blogspot.com

Kimung. 2007. Myself : Scumbag Beyond Life and Death. Bandung : Minor Books

Pratama, Wahyudi. 2007. A Little “Underground Music History” In Indonesia. www.mumet.shemut.net

_____­­­­___. 2006. Sejarah Musik Rock Indonesia. http://www.first-things-first.blogspot.com

http://www.apokalip.com

www.burgerkillofficial.com

www.commonroom.info

www.kimun666.wordpress.com

www.megaloblast.blogspot.com

http://www.musikator.com

www.reno-asnanda.blogspot.com

www.supri-online.com

Leave a comment