Jaleuleu Ja! Hayu Urang Ulin!

Jaleuleu Ja! Hayu Urang Ulin!P

 

Oleh Kimung

 

Senja. Langit bersih dan cerah. Terlihat para petani bersiap pulang. Sementara itu, di tengah pematang yang mengering membentuk tegalan terdengar sorak-sorai dan tawa anak-anak sedang bermain. Sesekali terdengar nyanyian mengiringi permainan mereka.

Di antara keramaian, terlihat sekitar 10 anak bersiap-siap bermain Oray-orayan (Indonesia: Ular-ularan). Mereka baris ke belakang. Tangan memegang bahu atau pinggang teman di depannya. Anak yang paling tinggi berada di posisi terdepan, berperan sebagai kepala ular. Yang berperan sebagai ekor dipilih anak terkecil tetapi paling gesit. Sang kepala ular harus menangkap ekor ular. Ekor sedapat mungkin harus menghindari tangkapan kepala ular.

Barisan bergerak meliuk-liuk seperti gerakan ular sambil bernyanyi riang:

Oray-orayan luar leor mapay sawah – Entong ka sawah parena keur sedang beukah – Mending ge teuleum di leuwi loba nu mandi – Saha nu mandi, anu mandina pandeuri.

Setiap nyanyian usai, kepala ular berusaha menangkap ekor sambil mengeluarkan bunyi kok…kok…kok…Sementara itu, badan ular berlari-lari kecil menurutkan ke mana kepala ular mengejar sang ekor.

Ada kalanya badan ular terputus. Riuhlah anak-anak tertawa-tawa dan kembali menyusun barisan untuk memulai kembali permainan. Bila sang ekor tertangkap, ia harus keluar dari barisan. Makin lama permainan berlangsung, badan ularpun semakin pendek. Saat badan ular tinggal tiga atau lima orang, anak-anak kembali mengulang permainannya dari awal

Di sisi lain, terlihat lima anak bermain Anyam-anyaman. Mereka membentuk lingkaran, posisi tubuh saling membelakangi, tangan saling berpegangan, dan saling mengaitkan sebelah kaki. Sambil bergerak berputar-putar mereka menyanyikan syair :

“Pakait-kait suku – Bitisna patumpang-tumpang – Anyaman masing pageuh – Tacan lesot ulah reureuh – Pakait-kait suku – Bitisna patumpang-tumpang – Anyaman masing kuat – Tacan lesot ulah lumpat – Pakait-kait suku – Bitisna patumpang-tumpang – Nganyamna ulah rusuh – Mun rusuh sok gampang labuh”

Sebagian anak-anak yang lainnya saling bekejaran dan bersorak-sorai gembira menyanyikan syair: Jaleuleu ja – tulak tuja eman gog – seureuh leuweung bay – ucing katunggang songsong ngek. Mereka berlari-lari saling berkejaran. Tertawa-tawa bahagia.

 

***

Permainan anak desa (kaulinan urang lembur) tersebar hampir di seluruh pedesaan di Jawa Barat sebagai bentuk kebudayaan rakyat. Setiap permainan, selalu diiringi nyanyian (kakawihan barudak) yang berbeda-beda. Nyanyian tersebut digemari anak-anak karena syairnya yang lucu, sederhana, dan gembira. Lebih dari itu, lagu-lagu memuat pesan nilai-nilai luhur kebudayaan rakyat tradisional.

Dalam lagu Oray-orayan, misalnya, dapat ditemukan pesan untuk senantiasa bergotong royong dan bahu membahu. Pesan itu juga terlihat dari permainan, terutama dari bentuk barisan. Setiap anak dituntut untuk mempertahankan dirinya agar dapat menjaga keharmonisan barisan, tidak terlepas dan menceraiberaikan barisan. Permainan ini mendidik ketangkasan, dan tanggung jawab memainkan peran.

Pesan-pesan di atas juga tercermin dalam Anyam-anyaman. Simbol saling kait mengait betis mengandung pesan menjaga persaudaraan, tidak bercerai-berai, dan tidak melepaskan diri dari tanggung jawab individu dalam masyarakat. Lagu Anyam-anyaman juga mengandung nasihat agar selalu hati-hati dan teratur dalam mengerjakan segala sesuatu. Selain itu, irama lagu ini juga enak dinyanyikan. Pola iramanya yang ceria melatih semangat dan membangkitkan ekspresi gembira anak-anak.

Lain Oray-orayan dan Anyam-anyaman, lain pula Jaleuleu Ja. Lagu ini mempunyai latar belakang sejarah. Diperkirakan muncul pada zaman revolusi, diciptakan sebagai kode rahasia dalam menyampaikan berita tentang perang. Sang pembawa berita menyanyikan lagu dengan lantang di atas pohon dengan maksud agar berita rahasia itu akan terdengar oleh pejuang-pejuang yang lain. Pejuang yang mendengar meneruskan nyanyian tersebut bersahut-sahutan.

Dalam permainan anak-anak, Jaleu-eu Ja adalah panggilan bagi anak-anak agar berkumpul untuk melakukan permainan. Anak yang menyanyikan lagu ini akan ditimpal oleh anak lain yang mendengar. Nyanyian pun akan dilantunkan bersahut-sahutan mengesankan suasana yang ramai dan gembira. Bila dikaji lebih jauh, lagu tersebut mengandung pesan-pesan luhur seperti kebersamaan, gotong-royong, mencita-citakan dunia yang bersatu, dan menumbuhkan kecintaan terhadap hewan dan tumbuhan (alam).

 

***

 

 Masih banyak jenis kaulinan serta kawih lainnya di Jawa Barat. Sebagai suatu kebudayaan rakyat, selain berperan sebagai alat rekreasi, kaulinan dan kawih berperan sebagai alat pedagogik yang mendidik anak-anak untuk berjiwa sportif dan menyiapkan mereka agar selalu siap berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat kelak.

Sayang, perkembangan teknologi informasi dan semakin menghilangnya lahan-lahan bermain anak-anak perlahan telah mengikis (hampir) habis kebudayaan rakyat itu. Jarang sekali masa kini ditemukan anak-anak memainkan permainan rakyat di lapangan-lapangan atau di tempat-tempat permainan lainnya. Mereka mungkin lebih enjoy bermain Play Station, video game, atau alat-alat permainan lainnya yang berbau teknologi dan sangat mengurangi nilai utama dalam permainan, yaitu interaksi dan sosialisasi.

Semakin merosotnya peran seni permainan ini dikhawatirkan akan menciptakan suatu kondisi erosi budaya, di mana nilai-nilai tradisi rakyat akan semakin mengalami degradasi dan kepunahan. Pada gilirannya, kekhawatiran itu akan berpengaruh besar pada perubahan cara berpikir, pandangan hidup atau cara bertindak generasi sekarang ke sisi individual yang sama sekali tidak mencerminkan nilai utama kerakyatan, suatu tempat akar rumput di mana mereka lahir, tumbuh, dan berkembang. Atau inikah salah satu sebab kenapa fisik, psikis, dan toleransi anak-anak kota cenderung lebih jongkok daripada anak-anak kampong? Kim#5


Leave a comment